Soroti Kebijakan Kontroversial Pemerintahan Jokowi, Bivitri Susanti: Ini Rangkaian Besar, Ada Desainnya

- 9 Juni 2024, 15:37 WIB
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti /YouTube/Bambang Widjojanto

LINGKARTANGERANG.COM - Di ujung masa kepemimpinannya, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru banyak mendapat kritik lantaran sejumlah kebijakannya yang dianggap kontroversial.

Beberapa kebijakan pemerintahan Jokowi yang kini tengah disoroti publik di antaranya yaitu Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran, Revisi Undang-Undang Kepolisian, RUU Mahkamah Konstitusi (MK), hingga RUU Kementerian Negara.

Menanggapi kebijakan kontroversial pemerintahan Jokowi, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menduga ada desain di balik hal tersebut.

Baca Juga: Gibran Rakabuming Disebut sebagai Sumber Masalah di Pilpres, Refly Harun: Presiden Jokowi Akhirnya Berpihak

"Iya, saya sih melihatnya ini rangkaian besar nih, ada desainnya," kata Bivitri Susanti.

Menurut Bivitri Susanti, desain tersebut telah dimulai sejak tahun 2017 silam.

"Mungkin belum banyak di antara kita yang sadar, tapi kalau diperhatikan, menurut saya sih dari tahun sekitar 2017 tuh sudah dimulai, cuma pelan-pelan," ujarnya.

"Yang saya maksud dengan desain ini adalah untuk merusak sistem ketatanegaraan kita, tapi secara legal," tambahnya, dikutip LingkarTangerang.com dari kanal YouTube Bambang Widjojanto pada Minggu, 9 Juni 2024.

Baca Juga: Said Didu Sebut Jokowi Lakukan Pelanggaran di Pemilu 2024, Ungkit Gibran Rakabuming hingga Kaesang Pangarep

Pengajar STH Indonesia Jentera itu mengaku tengah melakukan sebuah riset yang dia sebut sebagai autocratic legalism tekait hal ini.

Dia menjabarkan, autocratic legalism merupakan legalisme yang akan membunuh elemen-elemen demokrasi sehingga terjadi otokratisme, yaitu kekuasaan tanpa kontrol.

"Polanya dia akan membunuh, dalam tanda kutip ya, membunuh terlebih dulu elemen-elemen yang bisa mengecek kekuasaan. Jadinya setelah itu mereka akan dengan mudah bikin segala macam kebijakan tanpa kontrol. Sebenarnya tujuannya itu," bebernya.

Bivitri menuturkan, hal tersebut bukanlah khas Indonesia, sehingga teori yang dia gunakan berasal dari Venezuela dan Hungaria.

Baca Juga: PSI Diduga Paksakan Diri Lolos ke Senayan, Rocky Gerung Curiga Jokowi Ikut Begal Suara Partai Demi Keluarga

Dengan berbagai literatur yang digunakan, dia menyimpulkan banyak penguasa yang terpilih secara demokratis, tetapi kemudian menggunakan kekuasaannya untuk "membunuh" kekuasaan terhadap kekuasaan.

Bivitri menilai, hal ini dapat dibuktikan dibunuhnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2019 lalu.

Selain itu, dia juga menyinggung Undang-Undang MD3 yang mulai dibuat pada tahun 2017.

"Nah waktu itu sudah mulai dibuat supaya relasi kita dengan wakil rakyat semakin jauh. Kan kita dibuat semakin berjarak, semakin susah untuk ketemu, terus kalau mereka melakukan tindak pidana, penyelidikannya pun harus izin Presiden, ya hal-hal seperti itu," paparnya.

Baca Juga: AHY Diangkat Jadi Menteri ATR oleh Jokowi, Fedi Nuril: Izinkan Saya Bertanya, Pak

"Nah kemudian 2019 pembunuhan KPK, ya itu tadi, legal gak, ya legal sih, memang Undang-Undang, tapi kan salah. Terus kita juga melihat DPR-nya dimatikan dengan membunuh atau mengurangi jumlah oposisi lah," lanjutnya.

Dengan melemahnya oposisi di lembaga perwakilan rakyat, maka banyak disahkan undang-undang yang kontroversial.

Di antaranya yaitu Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), hingga Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN).

"Jadi sudah dijinakkan gitu DPR-nya. Nah yang sekarang dijinakkan semua, misalnya Undang-Undang MK. MK kan sebenarnya lembaga formal yang menguasai kekuasaan, dibikin supaya hakimnya bisa dievaluasi," ucapnya.

Baca Juga: Presiden Jokowi Sebut Bansos Beras Kemungkinan DIhentikan, Said Didu: Politik Sayang Anak

"Itu kacau sekali itu, nanti artinya hakim akan lebih ragu-ragu untuk memutus undang-undang itu kontroversial atau tidak," tambahnya.

Kemudian, Bivitri mengaku juga khawatir dengan adanya RUU Penyiaran yang dianggapnya dapat mengebiri peran media dalam melakukan investigasi.***

Editor: H Prastya


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah