TPN Ganjar-Mahfud Klaim Pelanggaran Pilpres 2024 Lebih Buruk dari 1999, Rocky Gerung Singgung PDIP dan Jokowi

18 Desember 2023, 08:34 WIB
Deputi Bidang Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo - Mahfud MD, Todung Mulya Lubis /Instagram/@todungmulyalubisofficial

LINGKARTANGERANG.COM - Deputi Bidang Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo - Mahfud MD, Todung Mulya Lubis mengklaim bahwa pelanggaran di Pilpres 2024 lebih buruk dibandingkan saat Pemilu 1999.

Todung mengungkapkan, banyak terjadi kecurangan jelang Pilpres 2024. Salah satunya terkait pencopotan baliho Ganjar Pranowo - Mahfud MD.

Menurut Todung, sekitar 70 baliho milik pasangan Ganjar Pranowo - Mahfud MD dicopot, termasuk di Bali saat ada kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke daerah tersebut.

Baca Juga: Diinstruksikan Jadi Jurkam Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, Gibran Rakabuming Raka Terbang ke Jakarta

Menanggapi hal ini, pengamat politik Rocky Gerung ikut buka suara. Dia menyebut Deputi Bidang Hukum TPN Ganjar Pranowo - Mahfud MD itu salah dalam membuat perbandingan.

Menurut Rocky Gerung Pemilu tahun 1999 merupakan kontras etik antara tuntutan reformasi dengan sisa-sisa politik era Orde Baru, sehingga Pemilu tersebut tidak bisa dibandingkan dengan Pilpres 2024.

"Saudara Todung Mulya Lubis itu dia salah dalam membuat perbandingan. (Tahun) 1998 jelas-jelas kontras etik antara tuntutan reformasi dan sisa-sisa politik Orde Baru, kan itu dasarnya," kata Rocky Gerung.

"Jadi kalau disebut Pemilu 1999 lebih secara etik itu lebih jujur, ya memang kita maksudkan itu. Karena itu, jangan bandingkan dengan 1999. (Pemilu) 1999 itu adalah revolusi atau semi revolusi untuk mengubah etik yang otoritarian pergi pada etik reformasi," tambahnya, dikutip LingkarTangerang.com dari kanal YouTube Rocky Gerung Official pada Senin, 18 Desember 2023.

Dia pun mengimbau agar semua pihak tidak berlindung pada istilah "curang" dan "tidak curang", termasuk PDIP. Pasalnya, dia menduga partai politik pimpinan Megawati Soekarnoputri itu lah yang melakukan kecurangan di Pilpres 2019 lalu.

"Jadi kita mesti kasih kritik juga, jangan sampai semua orang berupaya untuk berlindung pada istilah curang dan tidak curang, padahal pelaku kecurangan di 2019 kemarin juga adalah PDIP," tuturnya.

"Kenapa? Karena dia adalah bagian dari rezim memenangkan Jokowi dan kita tahu bahwa sampai semalam itu masih ada proses untuk pembuktian di Bawaslu dan terjadi kekerasan di situ kan. Jadi semua hal yang berhubungan dengan upaya untuk mendapat surplus pada masalah kecurangan-kecurangan ini jangan didalilkan pada 1999, justru semua kita menganggap bahwa yang sekarang itu menjadi buruk karena etik reformasi tidak diteruskan, termasuk tidak diteruskan oleh PDIP di 2019," lanjutnya.

Mantan Dosen Filsafat Universitas Indonesia itu menilai PDIP hanya ingin mencari surplus value karena pembelahan politik yang terjadi saat ini. Dia menegaskan, baik Jokowi maupun PDIP sama-sama tidak jujur dalam politik pada Pilpres 2019 silam.

Baca Juga: Pasca Deklarasi Ganjar Pranowo - Mahfud MD, Hendri Satrio: Tetiba Pilihan Prabowo Subianto Tak Banyak

PDIP dan Jokowi diduga terlibat kecurangan dalam Pemilu 2019

Kemudian, Rocky juga mengungkit peristiwa terkait penyelenggaraan Pemilu 2019, di mana saat itu ratusan petugas KPPS meninggal dunia. Hingga saat ini, publik belum mendapatkan kejelasan pasti mengenai kematian tersebut.

Tak hanya kematian ratusan petugas KPPS, saat itu Mahkamah Konstitusi (MK) juga dicurigai ikut campur tangan terkait sengketa Pemilu 2019.

Karenanya, dia mengingatkan agar Todung jangan sampai manipulatif dan ikut memanipulasi data lantaran adanya dugaan keterlibatan PDIP dalam peristiwa tersebut.

"Itu pentingnya mengingatkan jangan sampai manipulatif. Datanya saudara Mulya Lubis pasti dia tahu, tapi dia memanipulasi kan, seolah-olah PDIP itu partai yang bersih di 2019. Enggak begitu dong, mesti fair," ucapnya.

Baca Juga: Megawati Tunjuk Mahfud MD Jadi Cawapres Ganjar Pranowo, Rocky Gerung: Gibran Rakabuming Tidak Diharapkan

"Walaupun akhirnya Todung itu jadi politisi, saya tetap anggap bahwa iya itu teman saya, Todung Mulya Lubis, tetapi kita mesti tegur itu demi kejujuran sejarah. Jadi pakailah kedudukan Anda sebagai juru bicara, tapi bukan dengan memanipulasi hal yang barusan kita ingat," sambungnya.

Salah seorang pendiri SETARA Institute itu membeberkan bahwa selama periode pemerintahan Jokowi, pelanggaran etik dan ketidakjujuran Pemilu masih terus berlangsung hingga saat ini.

Menurutnya, hal ini merupakan dampak dari regimentasi yang dibuat oleh Jokowi dan keinginan orang nomor satu di Indonesia itu untuk mempertahankan kekuasaannya. Sebaliknya, keinginan rezim untuk menghalangi Prabowo Subianto di Pemilu 2019 juga menghasilkan ketidakjujuran.

"Memang sekarang Jokowi kemudian berdamai dengan Prabowo, itu soal lain. Tetapi fakta bahwa Pak Prabowo dulu 2019 diupayakan untuk dihalangi atau dihalau bahkan dari electoral politics, itu juga mesti kita paham," tegasnya.

"Karena Prabowo yang berjuang untuk mempertanyakan kejujuran Pemilu, mempertanyakan kematian ribuan petugas KPPS, segala macam. Kan itu juga battlefield yang mesti kita ingat tuh. Jadi jangan terlalu pendek ingatan sejarah Pak Todung Mulya Lubis sebagai tim TPN, bukan sebagai advokat," imbuhnya.***

Editor: H Prastya

Sumber: YouTube Rocky Gerung Official

Tags

Terkini

Terpopuler